Featured image of post Bolehkah Perempuan Haid Membaca Al-Qur'an? Simak Pendapat Para Ulama!

Bolehkah Perempuan Haid Membaca Al-Qur'an? Simak Pendapat Para Ulama!

Membaca Al-Qur’an merupakan salah satu amaliyah yang sangat dianjurkan bagi umat Islam, namun bagaimana jika seorang wanita sedang haid? Banyak ulama yang memiliki beragam pendapat mengenai hal ini. Secara umum, terdapat 3 pendapat yang muncul dan berkembang terkait masalah ini, yaitu: (1) mengharamkannya secara mutlak; (2) membolehkannya secara mutlak; dan (3) membolehkannya dengan beberapa catatan.

1. Pendapat Ulama yang Mengharamkannya Secara Mutlak

Pendapat ini di kemukakan oleh jumhur ulama dari madzhab Syafi’i, Hanbali, dan Hanafi. Mereka mengatakan bahwa perempuan yang sedang haid dilarang untuk membaca Al-Qur’an. Bahkan berdosa jika ia sengaja melakukannya.

Para ulama yang berpendapat demikian berlandaskan pada hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan ulama lainnya. Hadits ini menegaskan bahwa baik orang yang sedang junub maupun perempuan yang sedang haid dilarang membaca Al-Qur’an. Rasulullah SAW bersabda:

لَا يَقْرَأُ الْحَائِضُ وَلَا الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ (رواه الترمذي، البيهقي)

Artinya: “Orang yang junub dan wanita yang haid tidak boleh membaca sedikitpun dari Al-Qur’an.” (HR. At-Tirmidzi, Al-Baihaqi).

Meskipun hadits yang melarang perempuan haid membaca Al-Qur’an awalnya dinilai lemah (dhaif) oleh Imam An-Nawawi, status hadits tersebut diperkuat oleh beberapa riwayat lain sehingga dianggap hasan. Hal ini ditegaskan oleh para ulama seperti Ibnu Hajar Al-Haitami dan Al-Mundziri, yang melihat adanya dukungan dari berbagai hadits lain yang serupa. Pendapat serupa juga disampaikan oleh Ibnu Jamaah dalam Takhrijul Ahaditsir Rafi’i, di mana ia mengungkapkan bahwa hadits ini menjadi lebih kuat setelah diperbandingkan dengan riwayat-riwayat lain yang mendukung.

Ibnu Hajar Al-Haitami dalam karyanya Al-Minhajul Qawim (hal. 49) dan Abul Abbas Ahmad Ar-Ramli dalam Hasyiyatur Ramli (juz I, hal. 67), juga menguatkan argumen ini, sehingga hadits tersebut tetap kuat untuk dijadikan dasar hukum. Selain itu, para ulama yang melarang perempuan haid membaca Al-Qur’an juga meng-qiyaskannya dengan keadaan orang yang sedang junub, yang telah disepakati oleh ulama sebagai keadaan di mana membaca Al-Qur’an dilarang. Hal ini dijelaskan oleh Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab (juz II, hal. 388), yang memperkuat argumen ini dengan berbagai dalil. Hadits Ali bin Abi Thalib menyebutkan bahwa:

كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ عَلَى كُلِّ أَحْوَالِهِ سِوَى الْجَنَابَةِ

Artinya: “Nabi SAW selalu membaca Al-Qur’an dalam segala kondisi dan situasi, kecuali ketika Beliau junub.”

Para ulama menyamakan haid dengan junub. Mereka berpendapat haid lebih berat dibandingkan junub. Hal ini disebabkan karena haid biasanya berlangsung lebih lama, sementara junub adalah keadaan yang sementara dan dapat segera disucikan dengan mandi wajib.

2. Pendapat Ulama yang Membolehkannya Secara Mutlak

Pendapat dari madzhab Zhahiri, yang dipelopori oleh Ibnu Hazm, memberikan pandangan berbeda terkait hukum perempuan haid membaca Al-Qur’an. Ibnu Hazm berpendapat bahwa seorang wanita yang sedang haid diperbolehkan membaca Al-Qur’an secara mutlak, tanpa batasan kondisi atau alasan. Baik dalam keadaan khawatir akan lupa hafalan maupun tidak, perempuan haid tetap boleh membaca Al-Qur’an, baik sambil berbaring, berdiri, duduk, atau bersandar.

Ibnu Hazm mendasarkan pandangannya pada prinsip bahwa membaca Al-Qur’an adalah perbuatan baik yang tidak seharusnya dilarang bagi siapapun. Menurutnya, tidak ada dalil yang secara tegas melarang perempuan haid melakukan hal tersebut. Ia juga menolak otoritas hadits-hadits yang dijadikan dasar oleh jumhur ulama (mayoritas ulama) untuk melarang membaca Al-Qur’an saat haid, dengan alasan bahwa hadits-hadits tersebut lemah (dhaif) dari segi tsanad, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah (landasan hukum yang kuat).

3. Pendapat Ulama yang Membolehkannya dengan Beberapa Catatan

Pendapat ini adalah pendapat madzhab Maliki dan didukung oleh Ibnu Taimiyah. Pendapat ini membolehkan perempuan haid membaca Al-Qur’an jika ada kebutuhan (hajat) yang mendesak. Karenanya, pandangan ini dianggap sebagai jalan tengah antara pendapat yang mengharamkan dan yang membolehkan secara mutlak.

Madzhab Maliki memandang bahwa dalil-dalil yang dijadikan dasar bagi larangan perempuan haid membaca Al-Qur’an tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk dijadikan pijakan hukum yang mutlak. Oleh karena itu, mereka memberikan kelonggaran dalam situasi tertentu (jika ada kebutuhan yang mendesak), seperti untuk menjaga hafalan atau untuk tujuan pendidikan, terutama bagi perempuan yang mengajar Al-Qur’an.

Para pendukung pendapat ini juga membedakan antara kondisi junub dan haid. Menurut mereka, haid memiliki durasi yang lebih lama dibandingkan dengan junub, yang bisa disucikan dengan mandi wajib segera. Karena perempuan haid bisa berada dalam kondisi ini selama beberapa hari, maka melarangnya membaca Al-Qur’an secara penuh dianggap tidak proporsional. Oleh sebab itu, diperbolehkan bagi perempuan haid untuk membaca sebagian kecil dari Al-Qur’an selama masa haid, agar ia tidak kehilangan keutamaan interaksi dengan Al-Qur’an selama masa haid tersebut.

Sebagai solusi dalam kasus ini, salah satu pandangan yang dapat diikuti adalah pendapat dari madzhab Maliki. Pandangan ini membolehkan perempuan haid membaca Al-Qur’an, namun hanya selama darah haid masih mengalir. Jika darah haid telah berhenti, maka ia diharuskan mandi besar (mandi junub) sebelum diizinkan membaca Al-Qur’an lagi. Ini karena pada saat darah haid sudah berhenti, tidak ada lagi alasan untuk menunda mandi wajib, dan perempuan tersebut harus bersuci sebelum berinteraksi dengan Al-Qur’an.

Syekh Ahmad Ad-Dardir dalam kitab As-Syarhus Shaghir menjelaskan bahwa membaca Al-Qur’an selama darah haid masih keluar tidak dilarang. Namun, setelah darah berhenti, perempuan tidak boleh membaca Al-Qur’an sampai ia mandi janabat. Ini merupakan pendapat yang dijadikan pegangan dalam madzhab Maliki:

وَلَا يَحْرُمُ عَلَيْهَا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ إلَّا بَعْدَ انْقِطَاعِهِ وَقَبْلَ غُسْلِهَا، سَوَاءٌ كَانَتْ جُنُبًا حَالَ حَيْضِهَا أَمْ لَا، فَلَا تَقْرَأُ بَعْدَ انْقِطَاعِهِ مُطْلَقًا حَتَّى تَغْتَسِلَ. هَذَا هُوَ الْمُعْتَمَدُ

Artinya: “Tidak haram bagi perempuan haid membaca Al-Qur’an kecuali setelah terhenti darahnya dan belum mandi. Baik saat haid ia junub atau tidak. Karenanya ia tidak boleh membaca Al-Qur’an setelah darahnya berhenti secara mutlak sampai ia mandi janabat. Ini adalah pendapat mu’tamad atau yang dipedomani dalam madzhab Maliki.” (Ahmad Ad-Dardir, As-Syarhus Shaghir, dalam Bulghatus Salik li Aqrabil Masalik, Juz I, hal. 149).

Selain itu, walaupun ada pandangan yang membolehkan perempuan haid membaca Al-Qur’an, penting untuk tetap berhati-hati. Jika memungkinkan, lebih baik menunda membaca Al-Qur’an hingga masa haid selesai. Namun, dalam situasi yang mendesak, seperti ketika menghadapi ujian tahfidz yang tidak bisa ditunda, diperbolehkan membaca Al-Qur’an, tetapi dibatasi sesuai dengan kebutuhan ujian. Ini dilakukan demi menjaga kesakralan Al-Qur’an dan menghormati adab dalam berinteraksi dengan kitab suci.


Penulis: Rangga Fajar Oktariansyah

comments powered by Disqus
Built with Hugo