Suatu hari di siang bolong, Abu Nawas keluar rumah sambil membawa lampu minyak. Biasanya lampu itu hanya dipakai saat malam, tapi hari itu ia membawanya seolah-olah lampu tersebut sangat penting. Sambil berjalan, ia sesekali memalingkan kepala ke kanan dan ke kiri, seakan- akan sedang mencari sesuatu yang sangat istimewa.
Orang-orang yang melihatnya pun merasa heran. Mereka mulai bertanya- tanya karena mengapa orang sehebat Abu Nawas harus berjalan di siang hari sambil membawa lampu minyak?
“Abu Nawas mulai gila,” ucap seorang warga.
“Baginda Raja pasti malu punya staf ahli mendadak gila,” celetuk warga lainnya.
Namun, Abu Nawas tak peduli. Ia tetap melakukan aktivitasnya tersebut. Keesokan harinya, ia kembali keluar rumah lebih pagi dari biasanya, sekali lagi dengan membawa lampu minyak. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, ia melanjutkan pencariannya dengan cara yang sama, berjalan sambil terus memerhatikan sekeliling, seolah-olah ada sesuatu yang sangat penting yang harus ditemukan.
Beberapa orang yang menganggap Abu Nawas masih waras mendekatinya dan bertanya, “Hai Abu Nawas, apa yang sedang kamu cari dengan lampu minyak itu di siang bolong begini?” Dengan tenang, Abu Nawas menjawab, “Saya sedang mencari neraka.” Jawaban itu membuat mereka semakin bingung, “Bagaimana mungkin dia mencari neraka di siang hari?”
“Ah, Abu Nawas mulai gila,” pikir para warga tersebut.
Hari demi hari pun berlalu. Pada hari ketiga, tingkah laku Abu Nawas yang sama terus berulang. Ia berjalan di antara rumah-rumah, selalu memalingkan kepala ke segala arah sambil menggoyangkan lampu minyak di tangannya. Kesabaran warga pun kini mulai habis. Di Kota Baghdad, ada aturan yang melarang orang gila berkeliaran karena dianggap sangat berbahaya. Seseorang bisa membunuh atau bahkan mengintip orang yang sedang mandi, dengan dalih berpura-pura gila.
Abu Nawas akhirnya ditangkap lalu diserahkan ke istana. Sejumlah musuh politik Baginda Raja Harun Al Rasyid malah gembira, karena kegilaan Abu Nawas bisa mereka “goreng” untuk menyudutkan wibawa Raja.
Benar saja, Raja malu bukan kepalang, lalu bertanya dengan nada keras, “Abu Nawas, apa yang kamu lakukan dengan lampu minyak itu di siang hari begini?”
“Hamba sedang mencari neraka, Baginda Raja yang mulia,” ucap Abu Nawas dengan wajah serius. Seolah-olah tidak ada indikasi bahwa dia itu sudah gila.
“Kamu gila, Abu Nawas. Sahih, kamu gila,” ujar Baginda Raja.
“Tidak, Baginda Raja. Merekalah yang gila,” sergah Abu Nawas.
“Siapa mereka?” tanya Baginda Raja.
Abu Nawas lalu meminta agar semua orang yang telah menangkap dan menggiringnya ke istana dikumpulkan di depan istana. Ribuan orang pun berkumpul.
Setelah mereka berkumpul di depan istana, Abu Nawas yang didampingi Baginda Raja mendekati mereka.
“Wahai kalian yang mengaku waras,” teriak Abu Nawas kepada orang-orang di depannya, “Apakah kalian selama ini menganggap orang lain yang berbeda pendapat dengan kalian adalah munafik?”
“Benaaaaar!” jawab mereka dengan kompak dan tegas.
“Apakah kalian juga yang menyatakan para munafik itu sesat?” tanya Abu Nawas lagi.
“Betuuuuuul. Dasar sesat!” ucap warga.
“Jika mereka munafik dan sesat, apa konsekuensinya?”
“Hai Abu Nawas, kamu gila ya? Orang munafik pasti masuk neraka! Dasar munafik, kamu!”
“Baik, jika saya munafik, sesat, dan masuk neraka, di mana neraka yang kalian maksud? Punya siapa neraka itu?” tanya Abu Nawas dengan tenang, sambil lampu yang ada di tangannya itu diangkat tinggi-tinggi seolah- olah mencari sesuatu.
Suasana di depan istana pun mulai berubah. Warga yang tadinya merasa benar justru mulai merasa diledek dengan ekspresi Abu Nawas dan lampu di tangannya.
“Hai Abu Nawas, tentu saja neraka ada di akhirat dan itu milik Allah SWT. Kenapa kamu bertanya?”
“Baginda, mohon maaf,” kata Abu Nawas kepada Raja Harun. “Tolong sampaikan kepada mereka, jika neraka ada di akhirat dan yang punya neraka itu adalah Allah, lalu kenapa mereka di dunia ini gemar sekali menentukan orang lain masuk neraka? Apakah mereka asisten Allah yang tahu bocoran catatan Allah? Atau jangan-jangan merekalah yang gila?”
Pertanyaan itu membuat Baginda Raja terdiam sejenak, lalu akhirnya membuat ia tertawa terbahak-bahak. Lewat kata-katanya, Abu Nawas berhasil membuka mata banyak orang bahwa tidak selayaknya manusia dengan seenaknya menentukan nasib orang lain. Dengan sikapnya yang lucu namun penuh makna, Abu Nawas sekali lagi menunjukkan betapa cerdasnya ia dalam menyindir kesewenang-wenangan dan kemunafikan yang sering terjadi di masyarakat.
Penulis: Rangga Fajar Oktariansyah