Semua orang di kota Aq Syahr tahu kehebatan syekh mereka, Nashrudin. Atas dasar itulah, seluruh warga setempat mengangkatnya sebagai guru di sekolah di mana anak mereka belajar. Mereka berharap anak-anaknya dapat menyerap ilmu yang diajarkan Nashrudin.
Suatu hari, ada seorang siswa baru saja pulang ke rumah. Ayahnya lalu mencoba mengujinya dengan beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan pelajaran. Ternyata si anak mampu menjawab dengan tepat dan memuaskan. Tentu saja hal itu membuat sang ayah sangat gembira.
Sang ayah kemudian mengirimkan utusan kepada Nashrudin untuk memberikan hadiah berupa kue yang sangat lezat. Utusan itu pun sampai ke rumah Nashrudin. Saat itu pelajaran sedang berlangung. Di saat yang bersamaan pula, Nashrudin hendak mengakhiri pelajaran karena ia harus pergi melayat jenazah.
Sebelum hendak pergi, ia berpesan pada murid-muridnya, “Aku akan meletakkan kue ini di atas lemari. Jangan sampai kalian mencicipinya, karena aku curiga, barangkali ada racunnya. Aku khawatir kalian akan mati jika memakannya, sementara akulah yang nantinya akan dimintai pertanggungjawaban atas hal yang terjadi pada diri kalian. Bisa-bisa, aku masuk penjara!”
Setelah yakin bahwa ucapannya mempengaruhi semua murid, Nashrudin pergi meninggalkan sekolah untuk bertakziah.
Sementara itu, keponakan Nashrudin tahu bahwa pamannya itu bersandiwara. la kemudian memutuskan untuk mengambil kesempatan saat Nashrudin pergi dengan mengambil kue dari atas lemari. Kemudian, ia panggil semua siswa dan mengajak mereka untuk memakannya.
Tentu saja perbuatan keponakan Nashrudin itu membuat mereka takut.
“Bukankah kita telah mendengar ucapan beliau? Bukankah kue ini beracun dan bisa membunuh kita? Bukankah kita akan meninggal bila memakannya?” Tanya para siswa itu ragu-ragu. Tapi keponakan Nashrudin yang cerdas itu berkata, “Guru kalian sebenarnya hanya ingin mengelabui kita. Aku tidak peduli! Aku akan memakannya, dan kalian jangan menyesal bila ternyata aku tidak meninggal!”
Anak-anak itu kalah argumen. Hati mereka spontan menjadi ragu. “Baiklah, kita makan saja. Tetapi bagaimana alasan kita pada ustadz Nashrudin nanti?” tanya murid-murid itu dengan bimbang.
“Kalian tentu tahu dan kenal siapa aku!” sang keponakan menjawab dengan jumawa. “Aku telah menyiapkan alasan yang cukup jitu. Sekarang, mari kita makan saja kuenya!” ajaknya lagi.
Akhirnya, mereka semua sepakat untuk memakan kue setelah yakin bahwa sang keponakan akan bertanggungjawab atas hal itu.
Dengan lahap mereka santap kue nan lezat itu tanpa sisa. Mereka puas setelah perutnya kenyang.
Usai menyantap kue, sang keponakan menuju meja Nashrudin. Tiba-tiba tempat tinta milik Nashrudin yang ada di atas meja tersebut ia pecahkan. Tak lama kemudian, Nashrudin kembali dan masuk ke ruang belajar.
“Siapa yang pecahkan ini?!!” teriaknya dengan suara keras begitu melihat tempat tintanya pecah. Dengan spontan, murid-murid Nashrudin menunjuk ke arah sang keponakan, sebagaimana janji yang diucapkan sang keponakan sebelumnya.
“Kenapa kamu pecahkan tempat tintaku? Hhggg…akanku remukkan tulang-tulangmu!” ujarnya geram.
Amarah Nashrudin yang meledak-ledak itu telah membuat sang keponakan yang cerdas itu seketika menangis. “Pensil saya patah paman, saya ingin merautnya, tapi tanpa sengaja tempat tinta itu pecah. Apakah paman akan memarahi saya atas apa yang terjadi? Bagaimana saya harus menjawab pertanyaan paman sementara paman pasti akan memukul dan meremukkan tulang saya? Karena itu lebih baik saya memilih mati saja daripada menerima siksa dari paman…”
“Tapi..,” lanjut keponakan Nashrudin dengan ragu, “Saya pikir, bagaimana mungkin saya mati, sebab saya tidak ingin membuat onar di sekolah. Akhirnya, terlintas di benak saya untuk memakan kue di atas lemari paman dengan harapan saya akan mati syahid dan mendapat belas kasih dari teman-teman, orangtua, saudara, juga ibu. Saya pejamkan mata dan menelan sebagian kue itu sambil menunggu ajal datang. Tapi paman, saya tidak juga mati…”
Mendengar keterangan panjang lebar keponakannya, Nashrudin nyaris marah lantaran sadar kuenya juga ikutan raib. Tapi, Nashrudin pun tak dapat menyembunyikan kegelian atas ulah keponakannya itu. Amarahnya luruh seketika mendapati kecerdasan dan kemampuan sang keponakan membantah tuduhannya.